28 Maret, 2012

Undak Usuk Basa Warisan Feodal



Masyarakat Sunda pada masa sebelum perang bukan saja terkotak-kotak menurut kedudukannya secara sosial, melainkan juga dipisahkan oleh pemakaian bahasa yang berkelas-kelas dengan aturan 'undak usuk basa'.



Pemimpin yang berasal dari suku lain bisa berhadapan sama tinggi dengan para pejabat pribumi seperti bupati dan para pembantunya, mereka bisa berbicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa Belanda yang demokratis karena tidak mengenal tingkat-tingkat bahasa, sedang pemimpin orang Sunda kalau berhadapan dengan bupati ( Kanjeng Dalem ) pada waktu itu harus berbicara dengan bahasa Sunda yang memaksanya menempatkan diri sebagai ' abdi dalem' yang berbicara dengan 'dampal dalem' serta harus cermat menggunakan kata-kata sesuai dengan aturan 'undak usuk'.
Kalau dia sampai melakukan kesalahan dalam memenuhi aturan undak usuk, dia akan langsung mendapat hukuman sosial, antaranya ditertawakan sebagai orang yang tak tahu sopan santun, bukan orang sekolahan, orang kampung dan sebagainya.

Bahasa Sunda yang bagi pecaturnya memberi beban berupa 'undak usuk basa' yang sebenarnya tak ada manfaatnya secara praktis, karena tingkat-tingkat bahasa ( unggah-ungguhing basa ) yang dibuat pada masa Mataram waktu diperintah oleh Sultan Agung itu semata-mata untuk membuat garis batas antara priyayi dengan kebanyakan ternyata kian lama kian rumit, sejalan dengan kian berkurangnya daerah kekuasaan Mataram karena sedikit demi sedikit jatuh ke tangan Belanda.

Meskipun tidak intensif, bahasa Sunda sekarang pun masih mengajarkan undak usuk basa di sekolah-sekolah, sehingga anak-anak dan orang Sunda yang sudah dewasa juga, selalu merasa takut salah kalau berbicara bahasa Sunda. Sebagai jalan keluar mereka menggunakan bahasa Indonesia. Jadi, orang Sunda enggan menggunakan bahasa Sunda juga antaranya karena adanya ancaman hukuman sosial kalau dalam pembicaraan itu dia melanggar ketentuan 'undak-usuk basa'.
Maka 'undak-usuk basa' sebaiknya diabaikan saja. Di sekolah tak perlu diajarkan. Karena tatar Sunda termasuk wilayah Republik Indonesia yang demokratis, maka tak pantaslah mempertahankan bahasa yang feodalistis yang membedakan manusia berdasarkan kedudukan sosialnya.

Tanpa 'undak-usuk basa', orang akan lebih mudah belajar dan lebih berani mempergunakan bahasa Sunda. Undak-usuk cukup diketahui sebagai pengetahuan, terutama untuk membaca teks sastera atau naskah-naskah lama, serta sebgai kekayaan budaya.

*Dikutip dari : Masa Depan Budaya Daerah

Tidak ada komentar: