30 Juni, 2010

Cirebon Peteng

LANGKAHNYA tertatih perlahan. Dari ruang tengah menuju ruang tamu rumahnya yang sangat sederhana, seorang menusa Cerbon, Kartani ( 72 tahun), melangkahkan kakinya dan harus dibantu tongkat yang dikempit di tangan kirinya. Sosok sepuh yang bersahaja ini, tampak "kerasan" tinggal di sebuah perkampungan padat di Desa Mertasinga, Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon.

Tokoh penting yang sangat fasih bertutur tentang sejarah Cirebon ini lahir di Desa Bojongwetan Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon, tepat 16 Nopember 1938. Meski guratan wajahnya tengah menahan rasa sakit, tetapi senyumnya tersungging. Tubuhnya tak terlihat ringkih dan masih tampak gempal. Hanya kedua kakinya mulai membengkak. Lantaran sakit itu pula Kartani lagi bisa lagi gojag-gajig, bersilaturahmi atau berdongeng tentang sejarah Cerbon ke masjid-masjid atau desa-desa.


"Jare wong sih kula kenang asemurat, dados ya terpaksa kula akeh meneng teng griya. Nanging heran, padahal kula lagi nydahi dahar, malah berat badan nambah (kata orang, saya terserang penyakit asam urat jadi terpaksa saya lebih banyak tinggal di rumah. Namun yang mengherankan, saya te-ngah mengurangi makan malah berat badan bertambah)," tutur Kartani meng-awali perbincangan di rumahnya, (24/3).

Siapa nyana, Kartani yang mendiami sebuah rumah mungil tanpa aksesori secarik kertas tanda penghargaan dari mana pun, ternyata dalam dirinya terpancar semangat yang tak pernah padam dalam menggelorakan karya-karya budaya, sastra, dan sejarah Cirebon .

Menatap sosok Kartani, ibarat mena-tap sejarah peteng (gelap) Cirebon. Pergulatan Kartani dengan warna-warni budaya Cirebon begitu kental. Dengan demikian, ia sangat paham tentang apa itu budaya Cirebon dan segala tetek bengeknya. Mulai dari soal bahasa, sastra, seni budaya dan ia pun menguasai persoalan sejarah Cirebon . Dan lantaran "kontroversi" tentang sejarah Cirebon ini, Kartani pernah diculik seorang aktivis dari rumahnya dan dibawa ke sebuah tempat dan dipaksa ngomong tentang seluk beluk sejarah peteng Cirebon di hadapan sejumlah pejabat Cirebon. Namun ketika ditanya lebih lanjut apa gerangan yang dimaksud sejarah peteng Cirebon? Kartani lebih memilih bungkam tak berkomentar sekecap pun.

"Soal sejarah peteng Cirebon ini biarlah menjadi rahasia keluarga keraton. Saya tidak bisa ngomong, karena untuk membukanya harus seizin Kanjeng Gusti Sultan Cerbon," ujar Kartani yang begitu hormat pada keluarga Keraton Cirebon.

Kartani adalah sosok menusa Cerbon, yang banyak berjasa dalam melestarikan dan mengembangkan seni budaya, sastra dan sejarah Cirebon ini , tetapi boleh jadi kehidupannya sama peteng dengan nasib dan masa depan seniman dan budayawan Cirebon lainnya, tentu lantaran tak pernah secara serius mendapat sentuhan kepedulian dari pihak-pihak berkompeten.

Padahal dari jasa Kartani dan buah tangannya, sejumlah sejarawan Jawa Barat memperoleh gelar doktor sejarah. Berkat kegigihan Kartani mencari dan mengumpulkan benda-benda purbakala dan bersejarah dari Cirebon, kini museum Sri Baduga Bandung Jawa Barat dapat menyelamatkan benda-benda purbakala tersebut dari kepunahan.

**

AKAN tetapi yang mengecewakan Kartani, justru para ilmuwan dari dae-rah Cirebon sendiri kurang mememberikan apresiasi yang pantas terhadap kiprahnya selama ini. "Jujur saja saya memang bukan orang yang berpendidikan. Saya cuma punya semangat dan kemauan untuk tetap bertahan melestarikan nilai-nilai budaya luhur yang berasal dari tanah leluhur Cirebon," ucapnya.

Ia menyebutkan, pengetahuannya di bidang budaya Cirebon diperolehnya bukan dari bangku sekolah. Ia banyak memeroleh pengetahuan budaya dan sejarah Cirebon dari mulut orang-orang tua dulu, termasuk dari tokoh keturunan Arab dan Tionghoa. Karena berguru langsung dari penuturan para sesepuh itulah, ia sering menyambangi orang-orang tua dari keturunan Arab dan Tionghoa serta sering jalan-jalan ke berbagai pelosok desa semata ingin bersilaturahmi dengan masyarakat dan sejarah masa lalu. Walau begitu ia juga tetap membaca sumber-sumber sejarah tertulis karya dan berbahasa Cerbon kuno.

Satu hal lagi yang membuat Kartani sampai sekarang tak bisa nyenyak tidur, lantaran keinginannya membuka penemuan situs gua tempat tokoh ulama besar Cirebon/penyebar syiar agama Islam Syekh Datuk Kahfi. Untuk itu Kartani sudah lama mengusulkan pihak yang berwenang untuk membuka gua yang berada di komplek Gunungjati itu. Akan tetapi sampai saat ini belum pernah ada tanggapan.

Bahkan perjalanan panjangnya dalam menggeluti sejarah Cirebon masa lalu itu, ia tuangkan dalam bentuk karya tulis yang masih utuh dengan goresan tangan. Puluhan karya satranya banyak pula yang dipinjam oleh teman-teman dan budayawan Cirebon yang sampai saat ini belum dikembalikan. Yang membuatnya terkejut, tidak sedikit pula karya-karya tulisnya itu telah dibukukan oleh orang lain tanpa menyebut namanya. Padahal Kartani masih menyimpan asli tulisan yang dibukukan itu, tanpa meminta izin dan apalagi mencantumkan namanya.

Karya-karya sastra Kartani berbahasa Cerbon yang masih berwujud coretan-coretan tangannya dan ditulis berbentuk pupuh yakni berjudul "Pungkasing Lelakon Prabu Siliwangi" ditulis pada 1979, sebuah karya saduran buku Wangsit Prabu Siliwangi karya Eddi Tarmidi. Pupuh ini dibuat dalam wujud tembang Dandang Gula 66 bait, Kinanti 32 bait, Durma 8 bait, Asmarandana 38 bait, Sinom 38 bait. "Saya tertarik menulis tentang puisi tembang yang mengisahkan tentang berakhirnya Prabu Siliwangi lantaran ceritanya erat berkaitan dengan sejarah Kerajaan Cirebon," ujarnya.

Karya Kartani lainnya berbahasa Cerbon asli ataupun berbahasa Indonesia di antaranya naskah drama legenda Cerbon berjudul "Saida Saeni" yang pernah dipentaskan oleh Teater Nara Kota Cirebon Pimpinan Andrian Hardjo, tulisan tentang Kesusastraan Cerbon, Prawacana dan Tata Upacara Adat Pulun-Pulun ( upacara adat pelantikan Kepala Desa di Kabupaten Cirebon ).

Meski begitu, Kartani tidak terlalu cemas menatap masa depan jati diri menusa Cerbon. Karena memang berdasar pengamatannya, jati diri yang dimiliki menusa Cirebon masih banyak yang tetap terpelihara khususnya di kalangan masyarakat di daerah pedesaan.

Dalam pandangannya, menusa Cerbon harus punya watak togmol, yakni, bicara blak-blakan tanpa tedeng aling-aling. Istilah agamanya, katakan yang benar walau pahit. Namun tidak benar kalau ada yang berpendapat menusa Cerbon itu introver . Justru sebaliknya, menusa Cerbon senang membuka diri untuk menolong orang lain atau tetangganya. Kalaupun menusa Cerbon ada terkesan introver itu dalam khusus dalam soal ketertutupan menghadapi kesulitan hidup dirinya atau keluarganya. Artinya, menusa Cerbon tidak pernah mengumbar cerita tentang penderitaan-penderitaan diri dan keluargnya serta tidak pernah minta pertolongan kepada orang lain.

Kartani adalah potret buram budaya Cirebon masa kini. Ada semangat untuk bangkit dan tak pernah henti membangun peradaban masa kini dengan kejayaan budaya masa lalu. Akan tetapi, menusa Cerbon tak pernah tergelitik dan tertarik untuk membangunkan diri dari mimpi-mimpinya yang perih.

Kartani memang tidak sendirian. Ia tinggal bersama seorang istri dan tujuh anaknya, enam belas cucu, dan seorang buyut. Masa depan budaya Cirebon boleh jadi seperti sosok Kartani yang merelakan dirinya tergerus usia yang kian renta tanpa penghormatan layak atas jasa-jasanya. Kartani merelakan pula dirinya digerogoti penyakit tua yang mulai mendekapnya, tetapi tak pernah mau membuka aib sejarah yang ia ketahui secara terang benderang. Haruskah sejarah dan budaya Cirebon terkungkung dalam damar kurung yang tanpa cahaya dan dibiarkan peteng?

* Sumbadi Sastra Alam, aktif di Komunitas Penulis Cerbon

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 30 Mei 2010

Tidak ada komentar: